Senin, 14 Maret 2016

Dilema Indonesia Di Tengah Peraduan Budaya

Dilema Indonesia Di Tengah Peraduan Budaya

Memasuki era kemajuan yang kian bebas, Indonesia kini tengah menjelma sebagai primadona dunia. Bagaimana tidak, dalam kondisi geografis yang tersebar berbentuk kepulauan, dan didukung letak nan strategis serta jumlah populasi yang tinggi, menjadikan Indonesia sebagai magnet kuat bagi masuknya berbagai unsur pengaruh dari luar.

Dalam pemaparan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tersurat di Majalah Kabare edisi Januari 2016, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu menilai kultur masyarakat Indonesia telah banyak terkontaminasi oleh pengaruh barat yang berdasar pada kekuasaan. Padahal, menurutnya, dasar institusi bangsa Indonesia adalah egaliter, yaitu merupakan bentuk dari sifat masyarakat maritim yang mengedepankan persatuan dan kesatuan melalui musyawarah untuk mufakat, bukan kekuasaan.

Lebih jauh, Sultan menjelaskan, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda merupakan produk dari masyarakat maritim, bukan kontinental. “Tetapi karena kita dicekoki westernisasi maka muncul pemahaman Demokrasi. Demokrasi berbicara one man one vote, bicara mayoritas dan minoritas, yang minoritas kalah. Kalau demokrasi bangsa kita musyawarah dan mufakat,” jelasnya.

Bonus demografi yang dimiliki Indonesia dapt menjadi keuntungan besar, namun juga dapat menjadi beban apabila tidak diberdayagunakan secara adil dan bijak. Sultan berpendapat, kelemahan itu dapat terwujud jika generasi muda bangsa Indonesia tidak diperlakukan secara adil, baik dalam pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. “Kalau semua itu bisa memiliki daya saing, maka bonus demografi baru bisa bermanfaat,” tutur dia.

Banyak contoh kasus yang muncul akibat pengaruh dominasi asing di Indonesia, seperti nilai moral dan kultur yang semakin terkikis, kesempatan kerja yang semakin sempit karena mulai banyak diisi oleh orang luar, serta lunturnya wasiat kebudayaan akibat terjangan arus digital yang kian bebas.

Dilema inilah yang butuh perhatian serius dari pemerintah agar masyarakat Indonesia tidak merasa asing di tanahnya sendiri. Sultan meyakini Indonesia masih bisa bangkit dengan mengedepankan kekuatan lokal sebagai pondasi bangsa. Menurutnya, apabila kebudayaan masing-masing daerah dijadikan dasar kebijakan dan pola pikir, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi kuat.

“Etnik di republik ini punya lima identitas: bahasa lokal, cara berpakaian, menu makanan, filosofi, dan tradisi. Kenapa ini tidak dipertahankan?” tandasnya.

Sultan pun lantas bertutur mengenai pengalamannya saat memotivasi masyarakat ketika terjadi gempa di Yogyakarta pada 2006, bahwasanya masyarakat Yogyakarta harus bangkit dengan dengan kemampuannya sendiri dan tidak mengharapkan bantuan orang lain.


“Saudara tahu filosofi masyarakat Yogyakarta bahwa kehilangan harta sama dengan tidak kehilangan apapun. Kehilangan nyawa sama dengan kehilangan separuh. Kehilangan harga diri, kehilangan kehormatan sama dengan kehilangan semua. Jadi jangan harapkan bantuan dari orang lain karena bantuan tidak menyelesaikan persoalan. Terpenting punya kesediaan untuk bangkit, menurut kemampuan kita. Kebangkitan untuk survive yang bisa menyelesaikan persoalan. Itu saja yang saya kampanyekan supaya tumbuh integritas. Dua tahun masalah itu selesai,” ungkap Sultan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar