Dilema Indonesia Di
Tengah Peraduan Budaya
Memasuki
era kemajuan yang kian bebas, Indonesia kini tengah menjelma sebagai primadona
dunia. Bagaimana tidak, dalam kondisi geografis yang tersebar berbentuk
kepulauan, dan didukung letak nan strategis serta jumlah populasi yang tinggi,
menjadikan Indonesia sebagai magnet kuat bagi masuknya berbagai unsur pengaruh
dari luar.
Dalam
pemaparan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tersurat di Majalah Kabare edisi
Januari 2016, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu menilai kultur masyarakat
Indonesia telah banyak terkontaminasi oleh pengaruh barat yang berdasar pada
kekuasaan. Padahal, menurutnya, dasar institusi bangsa Indonesia adalah egaliter,
yaitu merupakan bentuk dari sifat masyarakat maritim yang mengedepankan
persatuan dan kesatuan melalui musyawarah untuk mufakat, bukan kekuasaan.
Lebih
jauh, Sultan menjelaskan, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda
merupakan produk dari masyarakat maritim, bukan kontinental. “Tetapi karena
kita dicekoki westernisasi maka
muncul pemahaman Demokrasi. Demokrasi berbicara one man one vote, bicara mayoritas dan minoritas, yang minoritas
kalah. Kalau demokrasi bangsa kita musyawarah dan mufakat,” jelasnya.
Bonus
demografi yang dimiliki Indonesia dapt menjadi keuntungan besar, namun juga
dapat menjadi beban apabila tidak diberdayagunakan secara adil dan bijak.
Sultan berpendapat, kelemahan itu dapat terwujud jika generasi muda bangsa
Indonesia tidak diperlakukan secara adil, baik dalam pendidikan, kesehatan, dan
lain sebagainya. “Kalau semua itu bisa memiliki daya saing, maka bonus
demografi baru bisa bermanfaat,” tutur dia.
Banyak
contoh kasus yang muncul akibat pengaruh dominasi asing di Indonesia, seperti
nilai moral dan kultur yang semakin terkikis, kesempatan kerja yang semakin
sempit karena mulai banyak diisi oleh orang luar, serta lunturnya wasiat
kebudayaan akibat terjangan arus digital yang kian bebas.
Dilema
inilah yang butuh perhatian serius dari pemerintah agar masyarakat Indonesia
tidak merasa asing di tanahnya sendiri. Sultan meyakini Indonesia masih bisa
bangkit dengan mengedepankan kekuatan lokal sebagai pondasi bangsa. Menurutnya,
apabila kebudayaan masing-masing daerah dijadikan dasar kebijakan dan pola
pikir, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi kuat.
“Etnik
di republik ini punya lima identitas: bahasa lokal, cara berpakaian, menu
makanan, filosofi, dan tradisi. Kenapa ini tidak dipertahankan?” tandasnya.
Sultan
pun lantas bertutur mengenai pengalamannya saat memotivasi masyarakat ketika
terjadi gempa di Yogyakarta pada 2006, bahwasanya masyarakat Yogyakarta harus
bangkit dengan dengan kemampuannya sendiri dan tidak mengharapkan bantuan orang
lain.
“Saudara
tahu filosofi masyarakat Yogyakarta bahwa kehilangan harta sama dengan tidak
kehilangan apapun. Kehilangan nyawa sama dengan kehilangan separuh. Kehilangan
harga diri, kehilangan kehormatan sama dengan kehilangan semua. Jadi jangan
harapkan bantuan dari orang lain karena bantuan tidak menyelesaikan persoalan.
Terpenting punya kesediaan untuk bangkit, menurut kemampuan kita. Kebangkitan
untuk survive yang bisa menyelesaikan
persoalan. Itu saja yang saya kampanyekan supaya tumbuh integritas. Dua tahun
masalah itu selesai,” ungkap Sultan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar